Nurdin Sarim dan Muhammad Isa Ridwan.
Belasan tahun lamanya PPRU sudah biasa menggelar Panggung Gembira, hanya saja performa “wajah” panggung dan background pada saat itu hanya berbekal tumpukan meja dan bangku kelas serta background hanya berupa kertas semen “Baturaja” dihiasi sedikit cat minyak sebagai warna tabirnya berlapis spanduk bertuliskan Panggung Gembira, namun penampilan seni dramanya tidak kalah seperti yang diadakan saat ini, hingga berakhir tahun 2007.
Sejak beroperasinya GOR PPRU di tahun 2008, perhelatan akbar yang sebelumnya diadakan di lapangan berubah menjadi indoor. Penontonnya pun melibatkan seluruh warga PPRU mulai dari pimpinan, pengurus pondok, dewan guru hingga santri dan santriwati turut memeriahkan.
“Kita Bakar”. kata anak-anak itu. Ia keluar sebagai ancaman. Tapi yang lain tertawa, girang. Nada ancaman itu keluar bukan tanpa alasan. Sumbernya polemik seputar izin. Ada banyak komentar negatif saat itu. Anak-anak itu panas, lalu keluar kata ancaman.
Kejadian ancaman itu di tahun 2011 silam, saat Nelson dan kawan-kawan mulai merumuskan konsep Panggung Gembira Akbar. Rancangannya memakai puluhan triplek, bambu-bambu panjang menjulang menutup panggung GOR saat itu. Dana yang mereka keluarkan mencapai 8 juta rupiah.
Desas-desus akan kegagalan dan komentar negatif menyerang mereka. Maka amukan itu terjadi, tapi untunglah tak keluar jadi tindakan anarkis. Menjelang pertunjukan semangat mereka tetap terjaga, menjelang Magrib semua sudah tertata rapi.
Panggungnya menjorok ke depan, dengan Backround menjulang tinggi, tapi tak sampai menutup keseluruhan panggung GOR. Warnanya masih sederhana; hitam putih. Disainnya menyerupai istana sederhana. Penampilannya sederhana, tapi menghibur, sound, lighting hanya memanfaatkan apa yang ada.
Tahun berikutnya mulai ada pergerakan menuju pembesaran Backround, penampilan mulai di Nusantarakan dengan berbagai tari-tarian dan drama kolosal, dananya mulai merangkak naik signifikan.
Tahun-tahun berikutnya Panggung Gembira berjalan sebagaimana biasa, anak-anak itu latihan dan berkreasi sendiri. Barulah saat Adi Farhan mulai terlibat pendampingan, panggung gembira disulap dan melejit naik pamor.
Pemakaian lighting, pencahayaan mulai digunakan, sound sistem mulai disewakan, hingga haflah tahun itu menggunakan sound sewaan itu. Saat itu dana Panggung Gembira mulai tembus puluhan juta. Pasca penampilan evaluasi disebar ke beberapa guru, hasil evaluasi itu terlihat di tahun berikutnya. Ada yang dipangkas, ada yang ditambah.
Puncak panggung gembira terasa tahun ini, Kamis, 16 Februari 2017. Gebyar dan semaraknya lebih melejit dari tahun-tahun sebelumnya, lalu ajang panggung gembira mulai menyerap tamu dan alumni, jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya. Ditambah dengan siaran langsung Live Streaming on Youtube channel TVRU dapat dinikmati oleh seluruh alumni dan umum seluruh dunia lewat dunia maya.
Dari catatan kami, panggung gembira tahun ini lebih “wah” dari sebelumnya, hal itu ditunjang dengan panggung yang mulai mulai menutupi hampir seluruh bagian panggung GOR dan bahkan menjorok hingga kebawah lantai GOR, penggunaan lighting yang mulai lebih baik, penampilan mulai dikrucutkan pertema, lebih variatif, dikemas dengan apik dan elegan dengan kostum tematik, penuh dengan kejutan.
Perkusi yang di dalam banyak benak penonton sebagai ajang pulul ember dan sejenisnya, diubah dengan berbagai varian alat musik yang dikemas dengan lagu-lagu penyemangat.
Para peserta, penonton menikmati dengan antusias, hingga akhir acara, kebertahanan penonton boleh jadi karena kemasan acara mulai berbeda dari tahun sebelumnya, ditambah musik tematik dan alur cerita yang inspiratif.
Semangat dan gebyar Panggung Gembira tahun ini, mengingatkan kami pada cerita Happy Candra tentang panggung gembira Gontor. Awalnya sederhana, lalu meningkat tematik, lokasinya masih di dalam Balai Pertemuan, hingga tahun berjalan, persaingan semakin sengit antar angkatan. Puncaknya di tahun 2001, saat Marhalah Merah memberanikan diri keluar kebiasaan, mengajukan permohonan Panggung Gembira keluar balai pertemuan, dan benar, sejarah mencatat tahun itu jadi tahun dimulainya panggung gembira besar-besaran dengan dana ratusan juta rupiah.
Maka seusai menyaksikan Panggung Gembira anak-anak MA dan SMA malam itu, saya membayangkan, suatu saat nanti Panggung Gembira itu boleh jadi akan keluar Gedung Olahraga. Membesar dan megah. Sebab, secara psikologis, anak-anak itu akan terus bersaing hingga batas tak tertentu dari karya seni mereka.
Allahu’alam.
Sekhum PPRU