Biografi 60 Sahabat Nabi – Mush’ab bin Umair

MUSH’AB BIN UMAIR – Duta Islam Pertama

Mush’ab bin Umair adalah seorang remaja Quraisy terkemuka, paling tampan, penuh dengan jiwa dan semangat muda. sejarahwan dan ahli riwayat menjelaskan masa mudanya dengan ungkapan “Seorang penduduk Mekkah yang mempunyai nama paling harum”.

Dia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan serta tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tidak seorangpun di antara anak-anak Mekkah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya sedemikian rupa sebagaimana Mush’ab bin Umair.

Mungkinkah anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah bibir gadis-gadis Mekkah, dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan berubah menjadi pelaku cerita tentang keimanan dan kepahlawanan?.

Demi Allah, kisah Mush’ab bin Umair atau dijuluki oleh kaum muslimin dengan sebutan “Mush’ab Yang Baik” adalah kisah yang penuh pesona. Ia merupakan salah satu di antara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad SAW, Namun bagaimana sosok sejatinya?

Sungguh, kisah hidupnya merupakan suatu kehormatan bagi seluruh umat manusia. Suatu hari, anak muda ini mendengar tentang Muhammad Al-Amin yang mulai menjadi perhatian bagi penduduk Mekkah; bahwa Muhammad SAW menyatakan dirinya telah diutus oleh Allah SWT sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, sebagai penyeru yang mengajak umat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Saat siang dan malam perhatian penduduk Mekkah tidak lepas dari berita itu. Ketika yang ada hanya perbincangan tentang Rasulullah SAW dan agama yang dibawanya, anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu.

Meskipun usianya masih belia, ia menjadi bunga di setiap tempat pertemuan dan perkumpulan. Setiap pertemuan apapun, mereka selalu berharap Mush’ab hadir di dalamnya. Penampilannya yang anggun dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, yang mampu membuka semua hati dan pintu.

Mush’ab telah mendengar Rasulullahh SAW bersama pengikutnya sering mengadakan pertemuan di suatu tempat yang jauh dari gangguan dan ancaman orang-orang Quraisy. Pertemuan itu dilaksanakan di bukit Shafa di rumah Al-Al-Arqam bin Abul Al-Arqam.

Tanpa berpikir panjang dan tanpa siapa pun yang menemani, pada suatu senja ia pergi ke rumah Al-Arqam. Kerinduan dan rasa penasaran telah mendorongnya melakukan itu.

Di tempat itulah, Rasulullah SAW bertemu dengan para sahabatnya, untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka dan shalat bersama mereka, menghadap kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa.

Ketika Mush’ab baru saja duduk, ayat-ayat Al-Qur’an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah SAW, bergema melalui kedua bibir beliau, mengalir sampai ke telinga dan meresap ke dalam hari para pendengar. Di senja itu hati Mush’ab telah berubah menjadi hati yang tunduk oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Keharuan yang ia rasakan hampir-hampir saja membuat tubuhnya terangkat dari tempat duduknya. Ia seolah-olah terbang oleh perasaan gembira. Tetapi, Rasulullah SAW mengulurkan tangannya yang penuh kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang bergejolak itu. Tiba-tiba hatinya berubah tenang dan damai, bagai lautan yang dalam.

Pemuda yang baru saja masuk Islam dan beriman itu tampak telah memiliki hikmah yang luas dan berlipat ganda dari ukuran seusianya. Ia mempunyai kepekatan hati yang mampu mengubah jalan sejarah.

Ibunda Mush’ab, Khannas binti Malik, adalah sosok ibu yang memiliki kekuatan kepribadian yang cemerlang. Pesona pribadinya itu telah membuat dirinya disegani. Setelah masuk Islam, tidak ada sosok yang membuat Mush’ab khawatir dan takut di muka bumi ini selain ibundanya.

Seandainya Mekkah dengan segala patung, tokoh terhormat, dan padang pasirnya membentuk sebuah formasi yang mengepung dan memusuhinya, Mush’ab menganggap itu bukanlah musuh yang berat saat itu. Tetapi, bila musuhnya itu adalah ibunya, inilah kekhawatiran yang membuatnya gelisah.

Dia berpikir cepat dan memutuskan untuk menyembunyikan keislamannya, kecuali Allah berkehendak lain. Tetapi, ia tetap bolak-balik ke Darul Al-Arqam dan bermajelis bersama Rasulullah SAW. Dia benar-benar merasa tenteram dengan menjadi orang yang beriman dan tetap berupaya menghindari kemurkaan ibunya, yang sampai saat itu tidak tahu sama sekali cerita tentang keislamannya.

Hanya saja, di Mekkah tiada rahasia yang tersembunyi. Mata dan telinga orang-orang Quraisy ada di setiap tempat mengikuti setiap langkah dan menyusuri setiap jejak. Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab ketika memasuki rumah Al-Arqam secara diam-diam. Kali lain, Utsman melihatnya shalat seperti yang dilakukan Muhammad SAW. Ia pun segera menemui ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

Mush’ab berdiri dihadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang benar-benar yakin dan mantap, Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang disampaikan Rasulullah SAW untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan ; kejujuran dan ketakwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan temparan keras, tangan yang terayun bagai anak panah itu tiba-tiba lunglai dan jatuh terkulai dihadapan cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian beribawa dan tenang. Kewibawaannya telah menimbulkan penghormatan dan ketenangannya menumbuhkan kepercayaan.

Sebagai seorang ibu, ibunda Mush’ab tidak tega memukul dan menyakiti putranya. Tetapi pengaruh berhala-berhala terhadap dirinya membuat dirinya harus bertindak dengan cara lain. Ia membawa putranya itu ke ruang yang terisolir di dalam rumahnya, lalu mengurungnya di dalam ruangan itu dan ditutup rapat-rapat.

Mush’ab tinggal dalam kurungan itu sekian lama hingga beberapa diantara kaum muslimin hijrah ke Habasyah (Etiopia). Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu hijrah ke Habasyah dengan penuh ketaatan. Ia tinggal disana bersama saudara-saudaranya kaum Muhajirin, lalu pulang ke Mekkah.

Kemudian ia pergi lagi untuk hijrah kedua bersama para sahabat atas titah Rasulullah SAW dan karena taat kepada beliau. Tetapi, di Habasyah maupun di Mekkah tidak ada bedanya bagi Mush’ab. Ujian dan penderitaan yang harus dihadapi Mush’ab kian meningkat tanpa mengenal waktu dan tempat.

Mush’ab telah berhasil membentuk pola kehidupannya denan format baru sesuai dengan yang dicontohkan oleh sosok pilihan, Muhammad SAW. Dia kini telah sampai pada keyakinan bahwa hidupnya sudah sepantasnya dipersembahkan untuk Penciptanya Yang Maha Tinggi, Rabb-nya Yang Maha Agung.

Suatu hari ia muncul di hadapan beberapa kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah SAW, saat memandang Mush’ab, mereka semua menundukkan kepala merasa prihatin. Beberapa orang di antara mereka berlinang air mata karena terharu. Hal itu karena mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang penuh dengan tambalan. Mereka teringat penampilannya sebelum masuk Islam, ketika pakaiannya bagaikan bunga-bunga di taman hjau yang terawat dan menyebarkan bau yang wangi.

Rasulullah SAW sendiri menatapnya dengan pandangan yang bijaksana. Pandangan yang penuh rasa syukur dan kasih sayang. Kedua bibir beliau menyunggingkan senyuman mulia, seraya bersabda :

                “Aku telah mengetahui Mush’ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Mekkah yang lebih dianja orang tuanya seperti dirinya. Kemudian ia meninggalkan itu semua karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya,”

Sejak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, segala fasilitas yang dahulu dinikmatinya dihentikan. Bahkan ibunya tidak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala. Sang ibu tega membiarkannya menanggung derita kemurkaannya, walau itu adalah anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya adalah ketika perempuan itu hendak mengurungnya kembali setelah ia pulang dari Habasyah. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang yang membantu melaksanakan rencananya. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad putranya yang tidak bisa ditawar lagi, tidak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab pun tidak kuasa menahan tangis.

Perpisahan ini menggambarkan kepada kita kegigihan yang luar biasa dari pihak ibu dalam kekafiran, sebaliknya kebulatan tekad sangat kuat dari pihak anak dalam mempertahankan keimanan. Sang ibu mengusirnya dari rumah.

                Dia berkata, “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi.”

                Mush’ab menghampiri ibunya seraya berkata, “Wahai Bunda! Saya ingin menyampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda merasa kasihan kepadamu. Saksikanlah bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muhammad adalah hambanya dan utusan-Nya.”

                Ibunya menjawab dengan penuh emosi dan kesal, “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan akalku akan melemah.”

                Mush’ab kini meninggalkan kemewahan dan kesenagan yang dinikmatinya selama ini, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda berpenampilan mewah dan wangi itu kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang. Satu hari ia adakalanya makan dan beberapa hari menderita lapar. Tetapi, jiwanya yang telah dihiasi dengan akidah yang suci dan memancar oleh cahaya Ilahi, telah mengubah dirinya menjadi seorang manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.

Suatu saat Rasulullah SAW memilih Mush’ab untuk melakukan tugas yang paling agung saat itu. Ia menjadi utusan Rasulullah SAW ke Madinah untuk mengajarkan agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah SAW di bukit Aqabah, mengajak orang-orang yang lain agar menganut agama Allah, da mempersiapkan Madinah untuk hijrah yang agung.

Ketika itu sebenarnya masih banyak tokoh yang lebih tua di kalangan sahabat, lebih berpengaruh, dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah SAW daripada Mush’ab. Tetapi, Rasulullah SAW menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab Yang Baik”. Beliau menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas yang besar di pundak pemuda itu, dan menyerahkan nasib agama Islam kepadanya di Madinah, yang tidak lama lagi menjadi Darul Hijrah, pusat para dai dan dakwah, dan markas para pengemban misi Islam dan prajurit perang.

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal kearifan pikir dan kemuliaan akhlak yang dikaruniakan Allah kepadanya. Kezuhudan, kejujuran, dan kesungguhan hatinya telah berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

Pada saat awal tiba di Madinah, yang menganut agama Isalam di sana hanya dua belas orangm yang telah berbaiat di bukit Aqabah. Tetapi, beberapa bulan kemudian, banya orang bersedia memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.

Pada musim haji berikutnya setelah tahun Perjanjian Aqabah, kaum muslimin Madinah mengirim utusan yang mewakili mereka menemui Nabi Muhammad SAW. Jumlah mereka adalah tujuh puluh mukmin laki-laki dan perempuan. Mereka berangkat dipimpin oleh guru mereka, yang tidak lain adalah orang yang diutus oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka, yaitu “Mush’ab Yang Baik”.

Dengan kesopanan dan kebaikan yang ditunjukkan, Mush’ab bin Umair telah menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW tahu bagaimana memilih orang yang tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, dan mampu menempatkan diri pada batas-batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada agama Allah, meyampaikan berita gembira tentang agama-Nya yang mengajak manusia menuju hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Tugasnya hanyalah menyampaikan agama Allah seperti tugas Rasulullah SAW yang diimaninya.

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di ruah As’ad bin Zurarah. Ia bersama As’ad mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Rabbnya, yang telah ia ketahui. Mereka berdua menyampaikan kalimat Allah “bahwa Allah adalah Ilah Yang Maha Esa” secara hati-hati.

Mush’ab pernah menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri dan sahabatnya, yang nyari celaka jika tanpa kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap oleh Usaid bin Al-Hudhair, pemimpin kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan belati yang terhunus.

Dia sangat murka dan sakit hati menyaksikan Mush’ab yang datang untuk menyelewengkan kaumnya dari agama mereka, membujuk mereka agar meninggalkan tuhan-tuhan mereka, dan menceritakan Allah Yang Maha Esa yang belum pernah mereka ketahui sebelum itu. Tuhan-tuhan yang selama ini mereka kenal bisa dilihat dengan jelas terpajang di tempatnnya dan bila seseorang berkepentingan, ia tahu dimana tempat tuhannya. Dia bisa langsung menghadap tuhanhnya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam pikiran suku Abdul Asyhal. Berbeda dengan Rabb Muhammad SAW yang sedang didakwahkan oleh utusan yang datang kepada mereka itu; tidak seorang pun yang mengetahui tempat-Nya atau melihat-Nya.

Saat kaum muslimin yang sedang duduk bersama Mush’ab melihat kadatangan Usaid bin Al-Hudhair dengan membawa kemurkaan bagaikan api yang berkobar, mereka pun merasa khawatir. Tetapi, “Mush’ab Yang Baik” tetap tenang, percaya diri, dan menunjukkan kegembiraan.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zurarah, seraya berkata, “Apa maksud kalian datang ke kampung kami? Apakah kalian hendak membodohi orang-orang yang lemah diantara kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika kalian tidak ingin mati!”

Bagaikan samudra yang tenang dan dalam; laksana cahaya fajar yang ceria dan damai, ketulusan hati “Mush’ab Yang Baik” mampu menggerakkan lidahnya untuk mengeluarkan ucapan yang lembut, “Mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seaindanya Anda menyukainya, Anda dapat menerimanya. Sebaliknya, jika tidak, kami akan menghentikan apa yang Anda benci.”

Usaid adalah sosok yang berakal cerdas. Dalam hal ini, ia melihat bahwa Mush’ab mengajaknya berdialog dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Ia hanya dimohon bersedia mendengar, bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan penduduknya untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan orang lain ataupun dirugikan, ketika itulah, Usaid menjawab, “Sekarang aku insaf.”

Dia pun melemparkan belatinya ke tanah dan duduk mendengarkan. Ketika Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan menguraikan seruan yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah SAW, dada Usaid mulai terbuka bercahaya, berdetak mengikuti naik turunnya suara, serta meresapi keindahannya. Belum selesai Mush’ab menyampaikan uraiannya, Usaid sudah berseru kepadanya dan orang-orang yang bersamanya, “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu. Apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk agama ini?”.

Mereka pun menjawabnya dengan suara tahlil yang menggemuruh bagai hendak mengguncangkan bumi. Kemudian Mush’ab berkata kepada Usaid, “Hendaklah ia menyucikan badan dan pakaiannya, serta bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah”.

Setelah itu Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali dengan rambut yang masih meteskan air sisa bersuci. Ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi selain Allah) dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.

Berita keislaman Usaid pun cepat tersebar bagai cahaya. Keislamannya disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad pun merasa puas dan masuk Islam. Langkah ini disusul Sa’ad bin Ubadah. Dengan keislaman mereka bertiga, maka selesailah sudah persoalan dengan berbagai suku di Madinah.

Warga Madinah saling berdatangan dan bertanya-tanya antara sesama mereka, “Jika Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Ubadah, dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya. Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya”.

Demikianlah, duta Rasulullah SAW yang pertama telah mencapai hasil gemilang. Keberhasilan yang memang wajar dan pantas diraih oleh Mush’ab.

Hari berganti hari dan tahun demi tahun berjalan hingga tiba waktu Rasulullah SAW bersama sahabat beliau hijrah ke Madinah. Orang-orang Quraisy semakin terbakar oleh dendam. Mereka menyiapkan segala yang diperlukan untuk melanjutkan tindak kedzaliman terhadap hamba-hamba Allah yang saleh. Perang Badar meletus dan kaum Quraisy pun harus menelan pil pahit yang menghabiskan sisa-sisa pikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha menuntut balas.

Setelah itu Perang Uhud menjelang dan kaum muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah SAW berdiri di tengah barisan itu , menatap setiap wajah orang yang beriman, untuk memilih siapa di antara merekayang berhak membawa bendera perang. Beliau pun memanggil “Mush’ab Yang Baik”, dan akhirnya ia tampil sebagai pembawa panji prang kaum muslimin.

Peperangan berkobar dan berkecamuk dengan sengitnya. Namun, sayang, pasukan pemanah melanggar perintah Rasulullah SAW. Mereka meninggalkan posisinya di puncak bukit setelah melihat orang-orang musyrik mundur dan menderita kekalahan. Perbuatan mereka itu secepatnya mengubah suasana, hingga kemenangan kaum muslimin dikagetkan oleh serangan balik pasukan berkuda Quraisy yang menyatroni mereka dari puncak bukit. Mereka diserang saat dalam keadaan lengah dengan pedang-pedang haus darah dan mengamuk bagai orang gila.

Ketika musuh melihat barisan kaum muslimin porak-poranda, mereka pun mengalihkan serangan kearah Rasulullah SAW untuk membunuh beliau Mush’ab bin Umair menyadari ancaman yang berbahaya tersebut. Dia pun mengangkat panji perang setinggi-tingginya dan bagaikan raungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya. Ia berjalan ke depan, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Ia memfokuskan semua upaya untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW, ia bertahan sendirian walau tanpa satuan pasukan.

Sungguh walaupun seorang diri, Mush’ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedangkan yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi, musuh kian bertambah banyak mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai lokasi Rasulullah SAW.

Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata yang akan menceritakan saat-saat terakhir dalam kehidupan Mush’ab bin Umair. Ibnu Sa’ad menuturkan, “Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil Al-Abdari menceritakan kepada kami dari ayahnya yang berkata :

Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin kocar-kacir, Mush’ab tetap bertahan pada posisinya. Ibnu Qami’ah datang berkuda, lalu menebas tangan kanannya hingga putus, Mush’ab mengucapkan, ‘Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan.’ Kini ia memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya hingga putus pula.

Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan, ia mendekap bendera ke dada sambil mengucapkan, ‘Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan.’ Musuh menyerangnya kembali dengan tombak, dan memasukkannya hingga patah. Mush’ab akhirnya gugur, dan bendera perang pun jatuh.” (Mush’ab dibunuh oleh Ibnu Qami’ah yang mengira Mush’ab adalah Rasulullah. Lihat Ibnu Hisyam : II/73 dan Zadul Ma’ad: II/97—edt.)

Mush’ab gugur dan panji perang jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Hal itu dialaminya setekah mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan dengan keberanian luar biasa. Saat itu Mush’ab yakin bahwa sekiranya ia gugur, tentu jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah SAW tanpa ada pembela yang akan melindungi beliau.

Karena cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah SAW, dan cemas memikirkan nasib beliau bila seandainya ia gugur, maka setiap sabetan pedang menebas tangannya, ia mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang utusan, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa utusan.” Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibaca sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al-Qur’an yang selalu dibaca orang.

Setelah pertermpuran sengit itu selesai, jasad pahlawan ulung yang syahid itu ditemukan dalam keadaan terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi oleh daranya yang mulia. Tubuh yang telah kaku itu seolah-olah masih khawatir bila menyaksikan Rasulullah SAWditimpa bencana, sehingga wajahnya disembunyikan agar tidak melihat peristiwa yang sangat tidak ia inginkan itu, atau, mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram oleh kepastian akan keselamatan Rasulullah SAW; sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah SAW.

Wahai Mush’ab, cukuplah Allah bagimu. Namamu harum semerbak dalam kehidupan.

Rasulullah SAW bersama para sahabat meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan kata perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, air mata beliau mengucur deras. Khabbab bin Al-Arat menuturkan, “Kami hijrah bersama Rasulullah SAW dengan mengharap ridha Allah, maka Allah memberikan balasan kepada kami. Di antara kami ada yang meninggal dan belum mendapatkan balasan (dunia) sedikit pun; di antaranya adalah Mush’ab bin Umair yang gugur pada Perang Uhud.

Kami tidak mendapatkan sesuatu untuk mengafaninya kecuali sepotong kain. Jika kami menutup kepalanya, kedua kakinya tersingkap dan jika menutup kakinya, kepalanya tersingkap. Nabi SAW bersabda, “Tutupilah kepalahnya dengan kain (mantel) dan tutuplah kakinya dengan idzkhir (rumput berbau harum yang biasa digunakan dalam penguburan)”(Shahih Al-Bukhari) .

Kepedihan yang mendalam memang dialami oleh Rasulullah SAW atas terbunuhnya paman beliau, Hamzah, dan jasadnya diporong-potong oleh orang musyrik sedemikian rupa. Air mata beliau bercucuran dan hati beliau bergolak oleh duka. Medan pertempuran penuh dengan mayat para sahabat beliau yang masing-masing bagi beliau merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Namun, semua pemandangan yang menyedihkan itu tidak memalingkan Rasulullah SAW untuk berhenti di dekat jasad duta beliau yang pertama, untuk melepaskan kepergiannya dan mengungkapkan bela sungkawa.

Rasulullah SAW berdiri di depan jasad Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang penuh dengan cahaya kesetiaan dan kasih sayang. Beliau membacakan ayat di hadapannya :

                “Dan diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (Al-Ahzab: 23)”.

Kemudian dengan penuh rasa iba beliau memandangi kain yang digunakan untuk menutup jasadnya, seraya bersabda, “Ketika di Mekkah dulu, tidak ada seorang pun yang aku lihat lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari dirimu. Namun, sekarabg, engkau (gugur) dengan rambutmu yang kusut dan hanya dibalut sehelai kain.”

Setelah itu pemandangan beliau tertuju ke medan pertempuran dengan pemandangan jasad syuhada rekan-rekan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah SAW bersabda, “Sunghuh, Rasulullah akan menjadi saksi pada hari kiamat nanti bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah”.

Kemudian beliau berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, dan bersabda, “Wahai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka. Ucapanlah salam untuk mereka. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tiada seoerang muslim pun yang mengucapkan kepada mereka sampai hari kiamat, kecuali mereka membalas salamnya”.

               Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, wahai Mush’ab.

               Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kalian, wahai para syuhada.

               Semoga keseamatan, kerahmatan, dan keberkahan dilimpahkan kepada kalian semua. []

.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.