Satu kebanggaan yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga dengan banyak menyebar Alumninya ke berbagai Pelosok Nusantara dan Juga ke Luar Negeri diantaranya adalah Muhammad Hafiz, Alumni Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga pada Tahun 2003 yang pernah menjabat pada Bagian Bahasa di Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Raudhatul Ulum ( OP3RU ) ini, aktif berkiprah pada lembaga HAM Nasional diantaranya HRWG ( Human Rights Working Group ), dan pada malam tadi dia berkesempatan hadir pada acara #SatuMeja di kompas TV ikut menyuarakan tentang Hak Asasi Manusia dan sebagian komentarnya yang tertulis di twitter @HRWG_Indonesia bahwasanya ” RUU Terorisme ini sharusnya beriringan & tdk blh trlepas dr konteks HAM itu sendiri “.
pada blog pribadinya dia bercerita tentang dirinya sampai ia berkiprah didunia HAM seperti yang ia ceritakan …pada Tanggal 20 Juli 1985 merupakan hari pertama aku merasakan udara segar kehidupan di dunia. Dilahirkan oleh pasangan orang tua, ayahanda almarhum Muhammad Nasir dan Msy. Natjik Abro di lereng gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera Selatan. Aku selalu bersyukur mendapatkan orang yang berbeda suku dan terbilang jauh jaraknya. Ibarat sebuah pepatah, “asam di gunung, garam di lautan, bertemu di atas belanga”, seperti itu pula gambaranku dan 7 orang saudara-saudari yang lain. Ayah berasal dari daerah Banten pesisir sementara ibu berasal dari daratan tinggi Dempo Pagaralam. Berbeda sebelum dilahirkan, hal itulah yang menjadikanku mampu menerima segala keberagaman dan menghormati perbedaan. Aku selalu berdoa Tuhan memberikan perlindungan dan keberkahan kepada ibu dan semoga Allah meletakkan ayah di samping-Nya, bersama hamba-hamba yang sholeh.
Aku memiliki 6 saudara dari 7 bersaudara, 4 perempuan dan 2 laki-laki. Kakak pertama, Desi Isnaini, telah mendidikku sebagai sosok yang giat bekerja dan energik. Kakak kedua, Yunita Desi Septiana, telah mengajariku tentang sebuah kesabaran, tawakkal, dan kecintaan akan ilmu (secara khusus bahasa Arab dan Nahwu). Kakak ketiga, Muhammad Amin Munawar, memotivasiku untuk optimis dengan kehidupan. Kakak keempat, Muhammad Subhan, selalu memberikan pencerahan untuk selalu kreatif dan gigih dalam kehidupan. Kakak kelima,Maria Ulfa, telah mengajariku bagaimana saling menyayangi sesama keluarga dan gigih berjuang untuk kebenaran. Terakhir, adik ketujuh, Lailatul Qadariyah, satu-satunya saudaraku yang mempunyai Kak Hafiz. Ia selalu mengajariku tentang hati nurani dan kasih sayang dalam kehidupan. Tuhan, berikanlah keberkahan dan kebahagiaan kepada saudara-saudariku ini.
[box type=”info” align=”” class=”” width=””]Menamatkan Sekolah Dasar di SDN 46 Pagaralam, tempat ayah tercinta menghabiskan hampir separoh usianya. Belum menamatkan SD, aku selalu terbayang untuk sekolah di pesantren, sebagaimana terjadi pada 5 saudara-saudariku sebelumnya. Dengan tekad yang bulat, pada 1997 aku diantar ke sebuah pesantren di Indralaya, Sumatera Selatan, kira-kira 7 jam perjalanan dari tempat aku dilahirkan. Tak terasa, susah, senang, sedih, gembira, dan beragam rasa yang telah aku lalui di pesantren Raudhatul Ulum, Saka Tiga, 6 tahun sudah kulalui.[/box]
Walaupun untuk belajar lebih jauh tentang Islam dan segala warisan intelektualnya, rentang waktu ini terasa sangat tidak cukup, namun 6 tahun ini selalu kusyukuri sebagai modal dasar bagiku membangun diri dan kepribadian pada masa yang akan datang. 6 tahun berlalu, aku pun mengabdikan diri sebagai guru pada salah satu pesantren di Sumatera Selatan. Pesantren Miftahul Ulum namanya, terletak di sebuah pulau dan ditempuh dengan speed board tak kurang dua jam setengah perjalanan. Sebuah pengalaman yang mungkin tidak bisa aku lupakan sampai sekarang, betapa lingkungan baru yang sejak awal tidak kukenal tetapi menjadi rekan, kawan dan keluarga baruku.
Yang aku ingat sebelum berangkat ke Makarti Jaya, Ayah dan ibu sangat berat melepaskanku, walaupun sebetulnya aku telah dididik untuk mandiri selama 6 tahun, jauh dari orang tua. Ayah cuma berpesan; “Pokoknya, harus selalu inget. ‘Di mana bumi di bijak, di situ langit dijunjung’”, sebuah kalimat yang selalu kuingat sampai sekarang.
Tujuh tahun kulalui di dua pesantren. Pada 2004, aku melanjutkan ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan mengambil bidang studi Peradilan Agama, Ahwal Syakhsiyyah, di Fakultas Syariah dan Hukum. Selama kuliah, semakin kudapatkan beragam aneka kehidupan dan ilmu pengetahuan. Tidak hanya di bidang kajian yang kugeluti, aku menjadi orang yang haus dengan ilmu pengetahuan saat pertama kali menginjakkan kaki di Ciputat. Aura Ciputat sebagai basis keilmuan dan intelektualitas di pinggiran kota Jakarta terlalu menghipnotisku untuk selalu bergelut dengan ilmu, berpindah-pindah dari satu forum diskusi ke diskusi yang lain, dan semuanya kuterima sebagai sebuah pilihan membangun diri menjadi berguna dan bermanfaat bagi sesama.
Salah satu kebiasaan yang mungkin dapat dibagikan di sini semasa kuliah di UIN Jakarta adalah kegemaranku menulis makalah atau tugas kuliah, yang kuanggap sebagai pembelajaran pribadi. Aku selalu egois dengan yang satu ini, walaupun aku sadar sikap ini tak mendidik rekan-rekanku untuk sama-sama belajar. Tatkala di kelompok, aku acuh kepada teman-teman yang acuh terhadap tugas-tugas makalah, walaupun sudah diajak berkali-kali. Akhirnya, menjadi kebiasaanku untuk menulis apa yang menjadi tugas-tugas bersama dan aku yakini hal itu tidak sia-sia untuk modalitasku pada masa yang akan datang. Aku juga tak pernah iri dengan teman-teman yang malas mengerjakan tugas, walaupun aku mengharuskan mereka untuk mengcopy makalah dengan kocek mereka masing-masing.
Sambil kuliah, aku juga melibatkan diri dalam pelbagai kegiatan ektra. Kedekatanku dengan kajian dan wawasan HAM selama di organisasi Kompak (Komite Mahasiswa Anti Kekerasan) telah mengarahkanku untuk bantu-bantu di Pusat Studi Konstitusi, Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah, sampai 2010. Terima kasih kepada bangda Arskal Salim, Ph.D, Dr. Yayan Sopyan, Euis Nurlaelawati, Ph.D, Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan Wahdi Sayuti, MA, yang telah membimbingku selama di Puskumham. Belum banyak yang bisa kusumbangkan untuk lembaga ini, kecuali terlibat dalam penyelenggaran beberapa kegiatan dan penulisan Laporan Pelaksanaan HAM DKI Jakarta Tahun 2008. Tapi diskusi-diskusi sehari-hari dengan sosok-sosok keren di lembaga ini telah mendidikku untuk lebih giat lagi belajar dan berkarya.
[box type=”success” align=”” class=”” width=””]Januari 2010 aku diwisuda dan mendapatkan gelar SHI (Sarjana Hukum Islam). Tak lama setelah lulus dan meninggalkan Puskumham, aku bergabung di sebuah lembaga HAM yang berkonsentrasi untuk advokasi internasional. Latar bekalang pesantren dan wacana HAM yang telah kumiliki ternyata membawa manfaat bagi kehidupanku. Di lembaga yang bernama Human Rights Working Group ini aku difokuskan untuk melakukan pemantauan dan advokasi HAM di Organisasi Kerjasama Islam (OKI), sebuah organisasi terbesar Negara-negara dunia setelah PBB. Tentu hal ini menjadi suatu tantangan menarik bagiku yang selama hampir 6 tahun menghabiskan waktu untuk mengobrol tentang Islam, kemanusiaan dan HAM. Sampai saat ini, aku masih aktif di Lembaga ini dan selalu berharap akan ada pelajaran-pelajaran baru yang selalu kuterima di manapun aku berada. [/box]
Pada 20 September 2010 aku menikah dengan seorang perempuan Betawi bernama Mimi Maftuha. Dan Alhamdulillah, dari pernikahan ini kami dikaruniani seorang anak yang kami beri nama Ageb Nabhan Nashr. Dengan harapan agar Ageb (‘aqib; salah satu nama Rasulullah) mengikuti akhlak Rasulullah, menjadi cerdas (“nabhan”) dan selalu berkomitmen untuk saling tolong-menolong (Nashr; masdar dari kata Nasir), selain berharap Ageb juga dapat mengikuti jejak kakeknya (Nasir) sebagai seorang juru dakwah dan penyebar pengetahuan.
Mantap! Bangga menjadi alumni RU.
Semoga ke depan semakin bertabur alumni kita yang akan menyuarakan kebenaran di depan publik hingga bangsa ini maju tanpa keributan dan kontroversi.
Amiin