OLEH: NURDIN SARIM
Tesis kematian agama di ranah publik telah lama digaungkan para pemikir Barat abad 19. Orang-orang seperti Auguste Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, Frued, Nietzsche, dan yang sealiran dengannya adalah para pengasong kematian agama itu. Bagi mereka, agama akan mengalami kebangkrutan di sektor-sektor publik seiring dengan majunya proses modernisasi di negara-negara Eropa Barat, dan akan benar-benar mati serta mengalami gradasi signifikan sejalan dengan hadirnya masyarkat industri pasca pencerahan di Eropa.
Tesis para pemikir diatas ternyata diamini oleh para filosof, sosiolog, antropolog, psikolog, dan ilmuan politik abad 20 seperti Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner dan Lotte Pelz. Bagi mereka peran agama dalam dunia publik (termasuk politik) benar-benar akan tumbang, bahkan mereka mengpostulasikan bahwa suatu saat nanti jenis-jenis “takhayyul” teologis, ritual-ritual agama, praktek-paktek mistis nan suci yang menjadi trade mark dan produk masyarakat tradisional akan lenyap dari muka bumi tergantikan oleh kehidupan masyarakat modern-sekular yang serba rasional dan anti agama.
Kaum intelektual ini juga menyatakan, modernisasi beserta kloni-kloninya (sekularisasi, rasionalisasi, urbanisasi, birokratisasi), merupakan titik kunci perubahan historis yang mampu mentranspormasikan masyarakat agraris penganut kesakralan dan agamis dalam pemikiran, kegiatan sosial maupun institusi menjadi bangsa-bangsa industri modern penganut rasionalisme dan jauh dari pemikiran mistis agama, bahkan bagi bapak sekular dan humanis dari Universitas Harvard, Harvey Cox, proses modernisasi akan membawa manusia kesebuah kota serba sekular. Selain Cox, pemikir seperti Pippa Norris dan Ronald Inglehart juga meramalkan kematian agama dalam dunia publik “the death of religion was the conventional wisdom in the sosial sciences during most of the twentieth century” begitu papar keduanya.
Pembunuhan agama di dunia modern juga diramalkan Huston Smith; penulis buku “Why Religion Matters” Huston menyatakan bahwa pada Abad Modern akan terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap agama, pembunuhan ini akan terjadi dalam dua bidang penting; sains dan politik. Di dalam sains, segala percobaan dan penelitian akan berdiri diatas pilar metode ilmiah yang tidak memerlukan unsur-unsur lainnya dalam observasi, oleh karena itu, menurutnya, agama (baca:wahyu) tidak dibutuhkan disitu.
Sedangkan pembunuhan agama dalam bidang politik, Huston menggambarkan bahwa dalam abad modern akan terjadi gejala baru dalam bidang transportasi dan perpindahan penduduk, gejala ini ia sebut “Pluralisme Kultural”. Akibat dari paham ini adalah penyingkiran agama dari kehidupan publik, hal ini dikarenakan agama dianggap faktor yang membeda-bedakan manusia, sedangkan politik berkeinginan untuk menyatukan perbadaan-perbedaan tersebut .
Tesis kematian agama dan penyebaran sekularisme dalam ranah publik dan politik membuat masyarakat Barat terkubur dalam lubang materialisme dan kematian spiritual. Melihat kenyataan ini, para politikus dan pemikir Barat geram dengan keadaan “mati suri”nya spiritualitas manusia Barat, dengan lantang Jacques Maitain, seorang filosof kristen ternama, menyatakan Barat dan manusia Barat hari ini mengalami krisis kemanusian sangat parah, hal ini diakibatkan model kehidupan manusia Barat yang mulai membuang ketuhanan dari kehidupan.
Rene Dubois, seorang pakar Biologi, mengatakan dengan nada getir “Permasalahan yang paling menyakitkan pada masyarakat Barat modern hari ini adalah perasaan bahwa kehidupan telah kehilangan maknanya dari dalam hati manusia, agama dan tradisi telah tergantikan oleh ilmu pengetahuan, yang tidak lagi memberikan ketenangan dalam kehidupan masyarakat .
Chrissie Murlson (Mantan Kepala Akademik New York) senada dengan Rene Dubois bahwa manusia memerlukan agama, dan perlu kembali pada keimanan. Kesopanan, rasa hormat, akhlak yang mulia, perbuatan terpuji, dan segala sesuatu yang bisa dikatan sebagai “ruh ketuhanan” tidak akan mungkin dicapai dengan cara tidak percaya pada Tuhan (atheis), karena atheis adalah sikap sombong, karena manusia telah mengambil hak Tuhan. Peradaban ini akan hancur berkeping-keping jika keyakinan dan keimanan kepada Tuhan mulai ditinggalkan .
Kegundahan yang disertai kritik tajam para pemikir Barat atas thesis kematian agama dalam ranah publik terus bergulir dan membuahkan hasil. Pada tahun 1980-sehingga sekarang, gerakan-gerakan berlabel agama mulai tumbuh dan terus berkembang, tesis-tesis kematian agama dan doktrin sekularisme mulai mendapat kritikan tajam, bahkan dari pendukungnya sendiri. Asas dasar pengkritik sekularisme dan mendukung revitalisasi agama dalam kehidupan publik ditandai dengan munculnya fenomena vitalitas agama di panggung publik, seperti trend kaum konservatif kristen di Amerika, gerakan spiritual New Age di Eropa Barat, revivalisme kaum Evagelis di Amerika Latin dan Asia Timur.
Memang, sejak tahun 1980-an agama menjadi sorotan para intelektual setelah mati diterjang angin sekularisme, pemicu perhatian kaum intelektual terhadap agama disebabkan munculnya gelombang religiously marked social and political movement sejak tahun 1980-an itu, mulai dari munculnya gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah sampai teologi pembebasan Katolik Kristen Amerika Latin. Sejak itu, agama-agama di dunia keluar dari sarang; dari rana privat ke rana publik, sebuah fenomena yang mendorong munculnya deprivatisasi agama atau dalam istilah Peter Beger “Desekularisasi Dunia” dalam kehidupan modern.
Melihat menjamur dan menguatnya peran dan fungsi agama dalam kehidupan publik, membuat para ilmuan sosial yang dulu gencar menyebarkan ide-ide sekularisme mulai balik kanan dan mulai menjadi pengkritik teori-teori sekularisme dan tesis kematian agama. Salah satu kritik itu muncul dari Peter Berger yang pada tahun 1960 getol menyuarakan dan menyebarkan sekularisme bersama Harvey Cox, Thomas Lucman, David Martin, Brian Wilson. Dengan tegas Peter Berger menyatkan “the assumption we live in a secularized world is false…the world today is as furiously religious as it ever was”. Dengan pernyataannya itu, Berger kini giat menekuni gerakan puritanisme agama yang menjadi penanda tumpulnya teori sekularisasi dan revitalisasi agama tadi.
Ternyata Peter Barger tidak sendirian dalam mengkritik teori-teori sekularisasi, Rodney Stark dan Roger Finke juga ikut-ikutan mengkritik ide-ide sekular itu, bahkan keduanya menyarankan untuk mengubur mati doktrin-doktrin sekularisasi, sebab bagi mereka, sekularisasi telah gagal menyikapi fenomena masyarekat modern.
Pada tahun 1993 disebuah kesempatan di forum yang tergabung dalam the Middle East Studies Association of North America, seorang aktifis feminis asal Mesir, Nawal Sa’dawi menyindir para rezim dan elit, serta tokoh politik yang terlihat tambil lebih agamis, Nawal menyatakan “there no secular states. All states are religious”. Hal ini ia nyatakan dihadapan puluhan politikus Amerika itu.
Selama ini, Amerika dikenal sebagai negara kampium demokrasi dan sarangnya sekularisme, namun dalam realitas politiknya sungguh jauh dari kenyataan, para politikusnya ternyata tambil sangat relegius, bukan hanya Republicans yang memang dikenal sangat agamis dan sedikit konservatif, bahkan para pendukung partai demokrat itu sendiri yang dipandang liberal ternyata juga tampil sangat relegious, dalam pengertian mengapresiasikan simbol-simbol, jargon, dan diskursus keagamaan dalam arena politik sekular.
Mewabahnya aliran gelombang pasang agama ke ruang-ruang publik, mendorong sosiolog ternama Jose Casanova dari Universitas Geogetown menulis buku terkenal Public Religions in the Modern World (1994). Dalam bukunya itu, Jose mencoba mengeksplorasi gerakan-gerakan dari dua tradisi agama, Katolik dan Protestan, di empat negara; Spayol, Brazil, Amerika Serikat dan Polandia. Inti dari karya itu adalah pembertanyakan kembali tesis klasik tentang sekularisme dan sekularisasi yang merakar pada tradisi intelektual Eropa-Barat pada abad ke-19 silam.
Selain apa yang dijelaskan diatas tadi. Di Indonesia sendiri Gelombang pasang kebangkitan Agama di ranah publik; sosial dan politik, dimulai sejak era reformasi 1998. Sejak saat itu partai-partai politik berbasis Agama mulai bermunculan, dan bahkan kini, di tahun ini, 2016 muncul aksi pada 411 dan 212, aksi ini juga dapat dianggap sebuah pergerakan bangkitnya kesadaran beragama di rana publik. Sebab, pemicunya adalah soal agama, dan penggeraknya adalah para agamawan, yang mulai menuntut peran serta agama dalam kehidupan sosial bernegara. Dan ini petanda sekularisasi dan sekularisme garapan Nurcholis Madjid itu mulai ditinggalkan.
Jika demikian, lantas dimana letak doktrin Nietzsche dan Harvey yang pernah dihidupkan di negeri ini. Apa ini petanda doktrin keduanya mengalami kematian, seperti matinya tuhan Nietzsche dan runtuhnya terori Harvey?. Peter Barger, sosiolog Universitas Boston bercerita bahwa ia pernah melihat sebuah mobil di Boston bertuliskan “Nietzsche is dead!”. Ini artinya doktrin Nietzsche benar-benar mati dan doktrin Sekulasisasi itu Pun, Roboh.
Wallahu a’lamu bish-shawab