Home / Redaksi / al-Kitab dan al-Hikmah ; Metode Pengajaran Karakter, Ilmu dan Pengetahuan

al-Kitab dan al-Hikmah ; Metode Pengajaran Karakter, Ilmu dan Pengetahuan

Oleh : Nurdin Sarim

Krito, murid setia Sokrates. Filosof terkenal Yunani. Sang murid setia menemani guru dalam penjaranya. Lama, sang murid tak tahan lalu mengusul “Bagaimana kalau kita kabur saja.” Katanya. Tapi sang guru ogah. Kabur dari penjara menyalahi ilmunya. Pengetahuannya, keadilannya, karakternya.

Bagi Sokrates, kabur dari penjara adalah perbuatan tak terpuji. Walau ia mampu untuk melakukan hal itu, tapi ia memilih tetap di penjara. Akhir cerita, sokrates mati di penjara, meneguk racun. Mempertahankan karakter dirinya. Ia tidak bersalah. Yakinnya.

Sokrates dituding penguasa tiran Athena, dituding telah meracuni pemuda negeri itu dengan pemikiran “aneh”: tidak percaya pada dewa-dewa penguasa zalim itu. Ia ditangkap lalu dipenjarakan.

Kematian Sokrates membuat gusar Plato, sang murid kesayangan. Plato mempertanyakan mengapa sang guru begitu kekeh dengan pendiriannya itu. Hingga nyawanya melayang. Plato gusar, penguasa tiran itu tak mengerti ilmu sang guru. Walau sang guru dianggap menang dalam peradilan. Tapi Meleto dan Anito tetap menghukumnya mati.

Sang murid kemudian tersadar, bahwa sang guru sedang mengajarkan nilai keluhuran, nilai keutamaan, nilai karakter, kedisiplinan dan kehormatan pada pengetahuan miliknya.

Ya, bagi Sokrates pengetahuan adalah pengantar seseorang untuk berbuat baik. Dan kebodohan, ketidakberilmuan, mengantarkan orang pada ketidakperbuatan. Prinsip ini dipegang teguh Sokrates hingga akhir hanyatnya.

Prinsip kepengetahuan itu, mengantarkan Plato pada kesimpulan bahwa pengetahuan adalah pendorong kebijaksanaan, keadilan dan keseimbangan pola tingkah laku manusia.

Tapi Plato gusar, mengapa bangsa Athena menghukum mati Sang guru. Bukankah pengetahuan penduduk Athena sudah membaik, pasca pergulatan filosofis sang guru. Plato sadar sejatinya tidak semua orang berpengetahuan baik itu peka terhadap pengetahuannya. Mereka “mengangkangi” pengetahuannya. Simpulnya kemudian.

Semasa itu, pasca kematian tragis sang guru, Plato mencari ide dan pola kepemimpinan Athena. Bagaimana menanamkan pengetahuan hingga pemimpin menjadi menghormati ilmu kebaikannya?. Kemudian Plato merumuskan itu dalam manifestonya; republik. “Negara, masyarakat harus dipimpin sang filosof.” Tugasnya.

Hanya Filosof, baginya, yang mampu menyatukan pengetahuan dan karakter, keseimbangan antara yang diketahui dengan pola pikir dan tingkah laku. Hingga membentuk karakter jiwa pemimpin itu.

Ya, mungkin Plato benar, keseimbangan itu berujung pada keadilan, kesejahteraan dan ketenteraman jiwa masyarakat. Tapi bagaimana pola pendidikannya?. Plato mengambil titah sang guru, pengajaran terbaik karakter adalah dengan berpengetahuan, dan menghormati pengetahuan itu.

Orang yang tahu kezaliman tapi berbuat zalim, ia tidak menghormati ilmunya. Dan begitu juga dengan karakter lain. Maka kesimpulan Plato; penghormatan.pada ilmu adalah pola terbaik pembentuk pemuda Athena masa itu. Maka Plato dengan Republiknya menanamkan pengetahuan pada pemuda Athena sejak dini. Pengetahuan karakter, pola sikap disiplin jiwa, keseimbangan antara laku dan akalnya.

Rumusan Sokrates dan Plato sejatinya adalah rumusan pembentuk kebaikan msyarakat, dalam Islam ini disebut akhlaq. Akhlaq adalah keseimbangan jiwa dengan apa yang dilakukan. Polanya prilaku yang tersadur lewat gerak spontan raga. Tanpa pikir dan pertimbangan. Asasnya adalah pengetahuan tentang kesadaran jiwa itu.

Maka benar kata Rasulullah, seorang tidak akan berzina saat ia beriman, tidak akan minum alkohol saat ia beriman dan seterusnya. Sabda itu menggambarkan keseimbangan iman jiwa, pengetahuan mutlak, dengan tingkah sadar fisik. Inilah yang diterapkan sahabat mulia itu; Ali bin Abi Tholib di medan perang.

Ali berperang lalu diludahi musuh, tapi tak membalas, tak dibunuhnya. “Aku khawatir, aku membunuhmu karena kemarahan, bukan karena Allah.” Inilah bentuk karakter itu. Bentuk keseimbangan antara pengetahuan dengan pola laku fisik.

Lantas mengapa Sokrates dan Ali Bin Abi Tholib bisa begitu kuat memegang karakter itu?

Dalam Islam, Allah mengajarkan karakter, ilmu dan pengetahuan melalui dua metode; al-Kitab dan al-Hikmah. al Kitab itu metode risalah, yang terhubung dengan metode baca tulis. Alat untuk menerima ilmu ini adalah syaraf intelektual. Semakin tinggi syaraf intelektualnya, semain mudah dalam mendapatkan ilmu itu. Untuk memperkuat syaraf intelektual itu, maka dibutuhkan asupan gizi yang cukup. Semakin bagus asupan gizinya, semakin bagus syaraf intelektualnya.

Tapi metode pertama ini belum dapat membawa seseorang pada sebuah kesadaran karakter. Kita dengan mudah melihat orang bersyaraf intelektual tinggi tapi omongan, tingkah lakunya jauh dari itu. Ia bisa korupsi, mencaci maki dan bahkan membunuh. Karena ilmunya baru sebatas pengetahuan intelektual itu.

Maka untuk menanamkan karakter dibutuhkan metode yang kedua yaitu al-Hikmah. Metode ini terhubung langsung dengan mata batin, hati dan nurani karena ia berhubungan dengan kebijaksanaan Tuhan. Cara mendapatkan ilmu ini adalah dengan berlatih memprihatinkan jasad, mamandang kehidupan dan realitas dengan perasaan kesadaran mutlak. Dengan kata lain metode al Hikmah berkaitan dengan pelepasan ego, pelepasan ke-aku-an. Caranya dengan memprihatinkan diri itu.

Semakin prihatin, pelepasan ego akan mudah didapat dan al hikmah pun akan banyak didapat. Karena al Hikmah berhubungan langsung dengan kesadaran jiwa, hati dan nurani, maka ia lah yang merubah ilmu menjadi karakter diri. Inilah yang dilakukan Sokrates dan Ali bin Abi Tholib, ilmunya sudah menjelma menjadi karakter. Maka siapa saja yang berharap perubahan diri, hendaknya ia menempuh jalur keduanya; al-Kitab dan al-Hikmah itu.

Allahu’alam

Cek Juga

Pelatihan

  Daftar PPDB silahkan klik link ini : DAFTAR  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.